Nglarung adalah tradisi masyarakat Yogyakarta, wilayah Gunung
Kidul, khususnya yang bekerja sebagai nelayan. Ritual ini diadakan 1 tahun
sekali, tepat pada tanggal 1 Suro. Bagi masyarakat yang kebagian membawa
sesajen dan segala perlengkapannya, memakai baju putih. Diawali
dari desa mereka, kemudian kirab sambil membawa sesajen, hasil pertanian yang
disusun seperti bentuk gunung, tumpeng dengan segala perlengkapannya seperti
buah-buahan, kepala kambing, ingkung (ayam panggang utuh), jajanan pasar, kembang
7 rupa dan kemenyan. Sesampainya di laut, semua sesaji
itu di lempar satu per satu dengan disertai do’a bersama. Mitos yang sudah melekat dalam
masyarakat bahwa Ratu Kidul itu ada, maka ritual tersebut dipersembahkan untuk
Ratu Kidul.[1]
Pertama, Kirab sambil membawa sesajen hasil pertanian yang disusun seperti bentuk
gunung. Kirab adalah istilah dalam bahasa jawa yang artinya menghantarkan, yang
dimaksudkan disini adalah menghantarkan serentetan sesajen yang telah disiapkan
menuju laut selatan.[2]
Salah satu sesajen yang dibawa dalam kirab ini adalah beras, padi, gabah, dan nasi
(tumpeng): melambangkan ketuntasan dan kesempurnaan. Artinya, jika melakukan
sesuatu harus dengan tuntas dan tidak setengah-setengah. Sedangkan tumpeng
berasal dari kata tumungkulo sing mempeng, artinya jika kita ingin selamat,
hendaknya kita selalu rajin beribadah.[3]
Filosofi seperti ini
tidaklah bertentangan dengan semangat Islam yang juga mengajarkan agar selalu
melaksanakan segala tugas dan tanggung jawab secara tuntas dan sempurna, Islam
juga mengajarkan agar umatnya selalu beribadah kepada Allah.
Islam
tidak pernah mensyari’atkan umatnya melakukan ibadah dengan cara nglarung di
pantai. Karena Allah hanya memerintahkan manusia agar menyembah-Nya semata.
Bukan meminta berkah atau pertolongan kepada selain Allah SWT dengan mengadakan
kirab membawa sesajen untuk Ratu Kidul. Allah berfirman;
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku” (al-Dzariat:56)
Mitos
yang sudah melekat dalam masyarakat bahwa Ratu Kidul itu ada, maka kirab ini
juga ditujukan pada Ratu Kidul yang menurut kepercayaan dapat memberikan
madzarat dan maslahah bagi masyarakat setempat. Perbuatan ini telah termasuk
dalam amalan syirik, selain karena ritual peribadatan ini tidak ada tuntunannya
dalam Islam, ritual ini jelas merupakan perbuatan menyekutukan Allah sebagai
satu-satunya Tuhan yang wajib disembah. Sudah selayaknya manusia hanya mengabdi
dan memasrahkan diri hanya kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)
Artinya: “Katakanlah Allah itu satu. Allah adalah
tempat bergantung. Ia tidak beranak dan tidak diperanakan. Dan tidak ada
satupun yang dapat menyamainya” (al-Ikhlash:1-4)
Kedua, Urap-urap
sayur: artinya
jika selama hidup harus mempunyai arti bagi sesama, lingkungan, agama, bangsa
dan negara. Bisa diartikan bahwa, dalam bermasyarakat harus bisa berbaur dengan
siapa saja agar hidup tentram.[4]
Islam
sebagai agama paripurna tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya,
tapi juga mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya. Termasuk berbuat
baik pada sesama, lingkungan, bangsa juga negara. Sebagaimana Allah berfirman;
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى
مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)
itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (al-Baqarah:180)
Meskipun
filosofi dalam urap-urap sayur sebagai satu kelengkapan sesajen ini tidak
bertentangan dengan Islam, namun tetap saja urap-urap sayur ini hukumnya haram.
Haram membuatnya begitu pula memakannya. Karena jelas pembuatan urap-urap sayur
ini bukan dengan niat untuk dibagikan pada sesama manusia sebagai usaha untuk
memperkuat tali ukhuwah diantara mereka. Tapi urap-urap sayur ini memang
sengaja dibuat untuk kemudian ikut dihanyutkan di pantai sebagai ritual
kemusyrikan.
Ketiga, Kepala kambing dan ingkung (ayam panggang utuh): melambangkan pengorbanan
selama hidup, cinta kasih terhadap sesama juga melambangkan hasil bumi (hewan
darat).[5]
Dalam
Islam tradisi kurban juga telah dikenal, sebagaimana yang selalu umat Islam
kerjakan pada hari raya idul adha. Selain hal ini merupakan bukti cinta hamba pada
Tuhannya, kurban pada idul adha juga merupakan bentuk rasa syukur dan rasa kepasrahan kepada
Allah. Sebagaimana kepasrahan Nabi Ibrahim ketika diperintahkan oleh Allah
untuk menyembelih putranya Ismail. Selain itu kurban idul adha juga merupakan sarana untuk
berbagi kepada sesama tanpa ada rasa pilih kasih.
Namun menyembelih kambing dan semua
jenis hewan dalam ritual nglarung ini tidak dapat disamakan dengan kurban pada
idul adha. Karena jelas bahwa menyembelih hewan disini tidaklah dengan niat
untuk Allah semata. Bahkan sebaliknya, menyembelih hewan disini adalah untuk
memenuhi syarat kelengkapan sesaji yang akan dipersembahkan pada Ratu Kidul
sang penunggu pantai selatan, menurut kepercayaan masyarakat.
Niat adalah porosnya amal, sehingga
meskipun amalannya secara dzahir itu baik seperti menyembelih hewan kurban,
tapi hal ini bisa menjadi perbuatan syirik karena jelas penyembelihan hewan
kurban disini niatnya bukan untuk Allah semata. Dalam ritual nglarung, menyembelih
hewan kurban dan mempersembahkan kepala kambing kepada Ratu Kidul jelas telah
menyalahi nilai-nilai Islam. Rasulullah SAW bersabda:
إنَمَا الأَعْمَالُ بِالنِيَةِ وإِنَّمَا لِإمْرِئٍ مَا
نَوَى
Artinya: “sesungguhnya amal itu tergantung
dengan niatnya, dan sungguh hanyalah seseorang itu mendapatkan sesuai apa yang
diniatkannya” (H.R. Muslim).
Menyembelih hewan kurban dan
mempersembahkan kepala binatang kepada Ratu Kidul jelas telah menyalahi
nilai-nilai Islam, karena dalam Islam menyembelih hewan dalam rangka ritual
adalah perbuatan yang tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah. Barang siapa yang melakukannya maka Allah melaknatnya. sebagaimana firman
Allah
قُلْ
إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ
الْمُسْلِمِينَ
Artinya: “Katakanlah; Sesungguhnya sholatku,
nusuk/sembelihan-ku, hidup dan matiku, semuanya adalah untuk Allah Rabb semesta
alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dan dengan itulah aku diperintahkan, sedangkan
aku adalah orang yang pertama-tama pasrah.” (QS. al-An’am: 162-163).
Sa’id bin Jubair dan adh-Dhahak menafsirkan bahwa kata
‘nusuk’ dalam ayat tersebut bermakna ‘sembelihan’ (Qurrat al-’Uyun
al-Muwahhidin, hal. 67). Barangsiapa
yang menyembelih untuk selain Allah entah itu jin, berhala, ataupun kubur maka ia
telah melakukan kesyirikan (Syarh Kitab at-Tauhid Syaikh Ibnu Baz,
hal. 68). Dalam ayat lainnya, Allah ta’ala berfirman,
إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ
Artinya: “Maka lakukanlah sholat dan
sembelihlah kurban untuk Tuhanmu.” (QS.
al-Kautsar: 2).
Rasulullah
SAW juga bersabda, “Allah melaknat orang
yang menyembelih untuk selain Allah…” (HR. Muslim).
Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa menyembelih untuk
selain Allah adalah perbuatan yang diharamkan. karena hal itu termasuk
kemusyrikan. Bahkan daging hewan yang disembelih untuk selain Allah pun haram
untuk dimakan. Allah ta’ala berfirman,
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللَّهِ
Artinya: “Diharamkan atas kalian bangkai, darah, daging babi,
dan daging hewan yang dipersembahkan untuk selain Allah…” (QS. al-Ma’idah: 3).[6]
Ke-empat, Jajanan
pasar: menggambarkan
kerukunan walaupun ada perbedaan, tenggang rasa. Filosofi jajan pasar yang
selalu sudah tersedia pada pukul 3 pagi di pasar tradisional bisa berarti
ketekunan dan kedisiplinan kerja yang kemudian mewarnai makna penggunaan jajan
tersebut.[7]
Filosofi ini telah dituntunkan oleh Islam jauh berabad tahun silam.
Islam selalu menuntun agar umatnya giat bekerja dan menghargai waktu.
Sebagaimana Firmanh Allah;
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ
Artinya: “Maka apabila kamu telah selesai (dari
sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”
(al-Insyirah:7)
Namun
seperti penjelasan yang telah lalu, meskipun secara filosofi hal ini tidak
bertentangan dengan prinsip Islam tetap saja hukum jajan pasar sebagai
kelengkapan sesajen dalam ritual nglarung ini hukumnya haram. hal ini
dikarenakan ritual nglarung adalah bentuk kesyirikan, sehingga segala sesuatu
yang menjadi sarana dalam ritual tersebutpun menjadi haram.
Kelima, Kembang 7 rupa dan kemenyan: sebagai tanda penghormatan atau rasa syukur
terhadap semua yang terjadi dimasyarakat sesuai bisikan ghaib yang berasal dari
paranormal atau tetuah-tetuah.[8]
Rasulullah
sebagi tauladan bagi umat Islam telah mengajarkan bagaimana seorang hamba dapat
mencurahkan rasa syukurnya kepada Allah SWT atas segala nikmat-Nya, yaitu
dengan berdzikir, dan berbagi rizki pada sesama, menggunakan nikmat dengan
sebaik-baiknya, dan masih banyak lagi cara yang Rasulullah ajarkan untuk
mengekspresikan bentuk rasa syukur kita kepada Allah SWT. Namun Rasulullah tidak pernah mengajarkan pada umatnya untuk
menyalurkan rasa syukur dengan membuat kembang tujuh rupa, apalagi menghormati
bisikan-bisikan ghaib dari paranormal atau tetuah-tetuah.
Ke-enam, Bubur merah
putih: bubur
beras merah, ketan hitam, bubur jagung, ketan putih, kacang hijau. Ditempatkan
di empat penjuru mata angin, satu di tengah. Melambangkan elemen alam (air,
api, udara, tanah, dan angkasa).[9]
Sebagaimana yang telah kita ketahui, Allah adalah pencipta segala
alam semesta. Sehingga patutlah kita sebagai hamba hanya menyembah kepada Allah
SWT dan melakukan kewajiban kita sebagai hamba. Bukan melakukan ritual-ritual
yang tidak disyari’atkan, bahkan sampai menyekutukan-Nya. Allah berfirman;
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ
الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا
وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ
الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
Artinya: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang
telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwal. Dialah
yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia
menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu
segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”
(al-Baqarah:21-22)
Ke-Tujuh, Sesampainya di laut, semua sesaji itu di lempar satu per satu dan
dibiarkan terhanyut dan terbuang di pantai.[10]
Semua ini termasuk perbuatan tabdzir yang dilarang agama.[11] Sebab dalam
ritual ini sangat banyak aneka ragam makanan yang dibuang sia-sia. Allah
berfirman;
إِنَّ
الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ
كَفُورًا
Artinya: "Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (al-isra’(17) : 27)
Ke-Delapan, do’a bersama yang dipimpin oleh
kepala suku dipersembahkan untuk Ratu Kidul. Do’a-do’a yang disampaikan
menggunakan bahasa arab dan sesekali berbahasa indonesia. Sebagaimana do’a
dalam ritual lainnya, do’a dalam ritual ini yakni meminta keselamatan dan jauh
dari mara bahaya.[12]
Islam
selalu mengajarkan umatnya untuk menyembah dan berdo’a hanya kepada Allah.
Karena tidak ada seorangpun yang berhak disembah kecuali hanya Allah. Allah
berfirman;
أَيُشْرِكُونَ مَا لَا يَخْلُقُ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ
وَلَا يَسْتَطِيعُونَ لَهُمْ نَصْرًا وَلَا أَنْفُسَهُمْ يَنْصُرُونَ
Artinya: “Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan)
berhada-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala
itu sendiri buatan orang. Dan berhala-berhala itu
tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada
dirinya sendiripun berhala-berha]a itu tidak dapat memberi pertolongan” (al-A’raf (7):191-192)[13]
Ayat ini menjelaskan bahwa siapapun
yang menyembah sesuatu selain Allah, termasuk memberikan sesajen yang
dipersembahkan untuk Ratu Kidul, merupakan perbuatan syirik.
Allah
melarang umat Islam mengharapkan berkah kepada pohon, batu, patung, danyhang,
dan sejenisnya. Begitu juga percaya bahwa benda-benda tertentu dapat memberi
madharat (bahaya) pada manusia. Karena ini termasuk perbuatan menyekutukan
Allah satu-satunya tempat bergantung. Nabi SAW bersabda “Allahuakbar. Itulah
tradisi (orang-orang sebelum kamu). Dan demi Allah yang diriku hanya berada di
tangan-Nya, kamu benar-benar telah mengatakan suatu perkataan seperti yang
dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa ‘buatkanlah untuk kami sesembahan
sebagaimana mereka itu mempunyai sesembahan-sesembahan’. Musa menjawab:
‘Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengerti’. Pasti, kamu akan mengikuti
tradisi orang-orang sebelum kamu.” (H.R. at-Tirmidzi)[14]
[1] Dewi Aichi, “Parangtriris 1 suro,”, http://baltyra.com/2010/01/31/parangtritis-1-suro/. akses 24 desember
2011.
[2] Hasil
wawancara dengan Ibu.Tina, penduduk asli Yogyakarta
[4] ibid
[5] ibid
[6] Abu Mushlih Ari Wahyudi, “sembelih kerbau
sebagai tolak bala merapi,” http://muslimah.or.id/aqidah/sembelih-kerbau-sebagai-tolak-bala-merapi.html,
akses 24 desember 2011.
[7] Ibid hlm.14
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] TIM PP
Muhammadiyah Majlis Tarjih, “Tanya Jawab Agama”: Suara Muhammadiyah,
Juli 1998, hlm 285.
[12] Hasil wawancara dengan Ibu Tina, Warga asli
Yogyakarta.
[13] At-Tamimi Muhammd, “Kitab Tauhid”,
(Jakarta: Darl Haq, 1999), hlm.84.
[14] At-Tamimi Muhammd, “Kitab Tauhid”, (Jakarta: Darl
Haq, 1999), hlm.62.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar