Rabu, 06 Juni 2012

NGLARUNG DALAM PERSPEKTIFR ISLAM

Nglarung adalah tradisi masyarakat Yogyakarta, wilayah Gunung Kidul, khususnya yang bekerja sebagai nelayan. Ritual ini diadakan 1 tahun sekali, tepat pada tanggal 1 Suro. Bagi masyarakat yang kebagian membawa sesajen dan segala perlengkapannya, memakai baju putih. Diawali dari desa mereka, kemudian kirab sambil membawa sesajen, hasil pertanian yang disusun seperti bentuk gunung, tumpeng dengan segala perlengkapannya seperti buah-buahan, kepala kambing, ingkung (ayam panggang utuh), jajanan pasar, kembang 7 rupa dan kemenyan. Sesampainya di laut, semua sesaji itu di lempar satu per satu dengan disertai doa bersama. Mitos yang sudah melekat dalam masyarakat bahwa Ratu Kidul itu ada, maka ritual tersebut dipersembahkan untuk Ratu Kidul.[1]
Rentetan prosesi dan perlengkapan ngelarung adalah sebagai berikut;
Pertama, Kirab sambil membawa sesajen hasil pertanian yang disusun seperti bentuk gunung. Kirab adalah istilah dalam bahasa jawa yang artinya menghantarkan, yang dimaksudkan disini adalah menghantarkan serentetan sesajen yang telah disiapkan menuju laut selatan.[2] Salah satu sesajen yang dibawa dalam kirab ini adalah beras, padi, gabah, dan nasi (tumpeng): melambangkan ketuntasan dan kesempurnaan. Artinya, jika melakukan sesuatu harus dengan tuntas dan tidak setengah-setengah. Sedangkan tumpeng berasal dari kata tumungkulo sing mempeng, artinya jika kita ingin selamat, hendaknya kita selalu rajin beribadah.[3]
     Filosofi seperti ini tidaklah bertentangan dengan semangat Islam yang juga mengajarkan agar selalu melaksanakan segala tugas dan tanggung jawab secara tuntas dan sempurna, Islam juga mengajarkan agar umatnya selalu beribadah kepada Allah.
     Islam tidak pernah mensyari’atkan umatnya melakukan ibadah dengan cara nglarung di pantai. Karena Allah hanya memerintahkan manusia agar menyembah-Nya semata. Bukan meminta berkah atau pertolongan kepada selain Allah SWT dengan mengadakan kirab membawa sesajen untuk Ratu Kidul. Allah berfirman;
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
Artinya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (al-Dzariat:56)
     Mitos yang sudah melekat dalam masyarakat bahwa Ratu Kidul itu ada, maka kirab ini juga ditujukan pada Ratu Kidul yang menurut kepercayaan dapat memberikan madzarat dan maslahah bagi masyarakat setempat. Perbuatan ini telah termasuk dalam amalan syirik, selain karena ritual peribadatan ini tidak ada tuntunannya dalam Islam, ritual ini jelas merupakan perbuatan menyekutukan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang wajib disembah. Sudah selayaknya manusia hanya mengabdi dan memasrahkan diri hanya kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)
Artinya: “Katakanlah Allah itu satu. Allah adalah tempat bergantung. Ia tidak beranak dan tidak diperanakan. Dan tidak ada satupun yang dapat menyamainya” (al-Ikhlash:1-4)
Kedua, Urap-urap sayur: artinya jika selama hidup harus mempunyai arti bagi sesama, lingkungan, agama, bangsa dan negara. Bisa diartikan bahwa, dalam bermasyarakat harus bisa berbaur dengan siapa saja agar hidup tentram.[4]
     Islam sebagai agama paripurna tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tapi juga mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya. Termasuk berbuat baik pada sesama, lingkungan, bangsa juga negara. Sebagaimana Allah berfirman;
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (al-Baqarah:180)
     Meskipun filosofi dalam urap-urap sayur sebagai satu kelengkapan sesajen ini tidak bertentangan dengan Islam, namun tetap saja urap-urap sayur ini hukumnya haram. Haram membuatnya begitu pula memakannya. Karena jelas pembuatan urap-urap sayur ini bukan dengan niat untuk dibagikan pada sesama manusia sebagai usaha untuk memperkuat tali ukhuwah diantara mereka. Tapi urap-urap sayur ini memang sengaja dibuat untuk kemudian ikut dihanyutkan di pantai sebagai ritual kemusyrikan.
Ketiga, Kepala kambing dan ingkung (ayam panggang utuh): melambangkan pengorbanan selama hidup, cinta kasih terhadap sesama juga melambangkan hasil bumi (hewan darat).[5]
     Dalam Islam tradisi kurban juga telah dikenal, sebagaimana yang selalu umat Islam kerjakan pada hari raya idul adha. Selain hal ini merupakan bukti cinta hamba pada Tuhannya, kurban pada idul adha juga merupakan bentuk rasa syukur dan rasa kepasrahan kepada Allah. Sebagaimana kepasrahan Nabi Ibrahim ketika diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih putranya Ismail. Selain itu kurban idul adha juga merupakan sarana untuk berbagi kepada sesama tanpa ada rasa pilih kasih.
Namun menyembelih kambing dan semua jenis hewan dalam ritual nglarung ini tidak dapat disamakan dengan kurban pada idul adha. Karena jelas bahwa menyembelih hewan disini tidaklah dengan niat untuk Allah semata. Bahkan sebaliknya, menyembelih hewan disini adalah untuk memenuhi syarat kelengkapan sesaji yang akan dipersembahkan pada Ratu Kidul sang penunggu pantai selatan, menurut kepercayaan masyarakat.
Niat adalah porosnya amal, sehingga meskipun amalannya secara dzahir itu baik seperti menyembelih hewan kurban, tapi hal ini bisa menjadi perbuatan syirik karena jelas penyembelihan hewan kurban disini niatnya bukan untuk Allah semata. Dalam ritual nglarung, menyembelih hewan kurban dan mempersembahkan kepala kambing kepada Ratu Kidul jelas telah menyalahi nilai-nilai Islam. Rasulullah SAW bersabda:
إنَمَا الأَعْمَالُ بِالنِيَةِ وإِنَّمَا لِإمْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya: “sesungguhnya amal itu tergantung dengan niatnya, dan sungguh hanyalah seseorang itu mendapatkan sesuai apa yang diniatkannya” (H.R. Muslim).
Menyembelih hewan kurban dan mempersembahkan kepala binatang kepada Ratu Kidul jelas telah menyalahi nilai-nilai Islam, karena dalam Islam menyembelih hewan dalam rangka ritual adalah perbuatan yang tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah. Barang siapa yang melakukannya maka Allah melaknatnya. sebagaimana firman Allah
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Artinya: “Katakanlah; Sesungguhnya sholatku, nusuk/sembelihan-ku, hidup dan matiku, semuanya adalah untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dan dengan itulah aku diperintahkan, sedangkan aku adalah orang yang pertama-tama pasrah.” (QS. al-An’am: 162-163).
Sa’id bin Jubair dan adh-Dhahak menafsirkan bahwa kata ‘nusuk’ dalam ayat tersebut bermakna ‘sembelihan’ (Qurrat al-’Uyun al-Muwahhidin, hal. 67). Barangsiapa yang menyembelih untuk selain Allah entah itu jin, berhala, ataupun kubur maka ia telah melakukan kesyirikan (Syarh Kitab at-Tauhid Syaikh Ibnu Baz, hal. 68). Dalam ayat lainnya, Allah ta’ala berfirman,
إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ
Artinya: “Maka lakukanlah sholat dan sembelihlah kurban untuk Tuhanmu.” (QS. al-Kautsar: 2).
Rasulullah SAW juga bersabda, “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah…” (HR. Muslim).
Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa menyembelih untuk selain Allah adalah perbuatan yang diharamkan. karena hal itu termasuk kemusyrikan. Bahkan daging hewan yang disembelih untuk selain Allah pun haram untuk dimakan. Allah ta’ala berfirman,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ
Artinya: “Diharamkan atas kalian bangkai, darah, daging babi, dan daging hewan yang dipersembahkan untuk selain Allah…” (QS. al-Ma’idah: 3).[6]
Ke-empat, Jajanan pasar: menggambarkan kerukunan walaupun ada perbedaan, tenggang rasa. Filosofi jajan pasar yang selalu sudah tersedia pada pukul 3 pagi di pasar tradisional bisa berarti ketekunan dan kedisiplinan kerja yang kemudian mewarnai makna penggunaan jajan tersebut.[7]
     Filosofi ini telah dituntunkan oleh Islam jauh berabad tahun silam. Islam selalu menuntun agar umatnya giat bekerja dan menghargai waktu. Sebagaimana Firmanh Allah;
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ
Artinya: “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain” (al-Insyirah:7)
     Namun seperti penjelasan yang telah lalu, meskipun secara filosofi hal ini tidak bertentangan dengan prinsip Islam tetap saja hukum jajan pasar sebagai kelengkapan sesajen dalam ritual nglarung ini hukumnya haram. hal ini dikarenakan ritual nglarung adalah bentuk kesyirikan, sehingga segala sesuatu yang menjadi sarana dalam ritual tersebutpun menjadi haram.
Kelima, Kembang 7 rupa dan kemenyan: sebagai tanda penghormatan atau rasa syukur terhadap semua yang terjadi dimasyarakat sesuai bisikan ghaib yang berasal dari paranormal atau tetuah-tetuah.[8]
     Rasulullah sebagi tauladan bagi umat Islam telah mengajarkan bagaimana seorang hamba dapat mencurahkan rasa syukurnya kepada Allah SWT atas segala nikmat-Nya, yaitu dengan berdzikir, dan berbagi rizki pada sesama, menggunakan nikmat dengan sebaik-baiknya, dan masih banyak lagi cara yang Rasulullah ajarkan untuk mengekspresikan bentuk rasa syukur kita kepada Allah SWT. Namun Rasulullah tidak pernah mengajarkan pada umatnya untuk menyalurkan rasa syukur dengan membuat kembang tujuh rupa, apalagi menghormati bisikan-bisikan ghaib dari paranormal atau tetuah-tetuah.
Ke-enam, Bubur merah putih: bubur beras merah, ketan hitam, bubur jagung, ketan putih, kacang hijau. Ditempatkan di empat penjuru mata angin, satu di tengah. Melambangkan elemen alam (air, api, udara, tanah, dan angkasa).[9]
     Sebagaimana yang telah kita ketahui, Allah adalah pencipta segala alam semesta. Sehingga patutlah kita sebagai hamba hanya menyembah kepada Allah SWT dan melakukan kewajiban kita sebagai hamba. Bukan melakukan ritual-ritual yang tidak disyari’atkan, bahkan sampai menyekutukan-Nya. Allah berfirman;
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
 الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwal. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (al-Baqarah:21-22)
Ke-Tujuh, Sesampainya di laut, semua sesaji itu di lempar satu per satu dan dibiarkan terhanyut dan terbuang di pantai.[10] Semua ini termasuk perbuatan tabdzir yang dilarang agama.[11]  Sebab dalam ritual ini sangat banyak aneka ragam makanan yang dibuang sia-sia. Allah berfirman;
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
Artinya: "Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (al-isra’(17) : 27)
Ke-Delapan,  do’a bersama yang dipimpin oleh kepala suku dipersembahkan untuk Ratu Kidul. Do’a-do’a yang disampaikan menggunakan bahasa arab dan sesekali berbahasa indonesia. Sebagaimana do’a dalam ritual lainnya, do’a dalam ritual ini yakni meminta keselamatan dan jauh dari mara bahaya.[12]
     Islam selalu mengajarkan umatnya untuk menyembah dan berdo’a hanya kepada Allah. Karena tidak ada seorangpun yang berhak disembah kecuali hanya Allah. Allah berfirman;
أَيُشْرِكُونَ مَا لَا يَخْلُقُ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ وَلَا يَسْتَطِيعُونَ لَهُمْ نَصْرًا وَلَا أَنْفُسَهُمْ يَنْصُرُونَ
Artinya: “Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhada-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiripun berhala-berha]a itu tidak dapat memberi pertolongan (al-A’raf (7):191-192)[13]
Ayat ini menjelaskan bahwa siapapun yang menyembah sesuatu selain Allah, termasuk memberikan sesajen yang dipersembahkan untuk Ratu Kidul, merupakan perbuatan syirik.
Allah melarang umat Islam mengharapkan berkah kepada pohon, batu, patung, danyhang, dan sejenisnya. Begitu juga percaya bahwa benda-benda tertentu dapat memberi madharat (bahaya) pada manusia. Karena ini termasuk perbuatan menyekutukan Allah satu-satunya tempat bergantung. Nabi SAW bersabda “Allahuakbar. Itulah tradisi (orang-orang sebelum kamu). Dan demi Allah yang diriku hanya berada di tangan-Nya, kamu benar-benar telah mengatakan suatu perkataan seperti yang dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa ‘buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka itu mempunyai sesembahan-sesembahan’. Musa menjawab: ‘Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengerti’. Pasti, kamu akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu. (H.R. at-Tirmidzi)[14]


[1] Dewi Aichi, “Parangtriris 1 suro,”, http://baltyra.com/2010/01/31/parangtritis-1-suro/. akses 24 desember 2011.
[2] Hasil wawancara dengan Ibu.Tina, penduduk asli Yogyakarta
[3] Tanpa nama, “Sajen”. http://linguafranca.info/sajen.html. Akses tanggal 3 mei 2012
[4] ibid
[5] ibid
[6] Abu Mushlih Ari Wahyudi, “sembelih kerbau sebagai tolak bala merapi,” http://muslimah.or.id/aqidah/sembelih-kerbau-sebagai-tolak-bala-merapi.html, akses 24 desember 2011.
[7]   Ibid hlm.14
[8]   Ibid
[9]  Ibid
[10] Ibid
[11] TIM PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, “Tanya Jawab Agama”: Suara Muhammadiyah, Juli 1998, hlm 285.
[12]  Hasil wawancara dengan Ibu Tina, Warga asli Yogyakarta.
[13]  At-Tamimi Muhammd, “Kitab Tauhid”, (Jakarta: Darl Haq, 1999), hlm.84.
[14]  At-Tamimi Muhammd, “Kitab Tauhid”, (Jakarta: Darl Haq, 1999), hlm.62.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar