Kamis, 07 Juni 2012

Antara Tahlil & Tahlilan


Upacara tahlilan diadopsi oleh para dai terdahulu dari upacara kepercayaan Animisme, agama Budha dan Hindu. Menurut kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Budhisme bila seseorang meninggal dunia maka ruhnya akan datang kembali ke rumah pada malam hari untuk mengunjungi keluarganya. Jika dalam rumah tadi ada orang ramai yang berkumpul-kumpul dan mengadakan upacara-upacara sesaji, seperti membakar kemenyan, dan sesaji terhadap yang ghaib atau ruh-ruh ghaib, maka ruh orang mati tadi akan marah dan masuk ke dalam jasad orang yang masih hidup dari keluarga si mati. Maka untuk itu semalaman para tetangga dan kawan-kawan atau masyarakat tidak tidur, membaca mantera-mantera atau sekedar kumpul-kumpul. Hal semacam itu dilakukan pada malam pertama kematian, selanjutnya malam ketiga, ketujuh, ke-100, satu tahun, dua tahun dan malam ke-1000.
Setelah orang-orang yang mempunyai kepercayaan tersebut masuk Islam, mereka tetap melakukan upacara-upacara tersebut. Sebagai langkah awal, para dai terdahulu tidak memberantasnya sekaligus, tapi mengalihkan dari upacara yang bersifat Hindu dan Budha itu menjadi upacara yang bernafaskan Islam. Sesaji diganti dengan nasi dan lauk pauk untuk sedekah. Mantera-mantera digantikan dengan dzikir, doa dan bacaan al-Qur’an. Upacara semacam ini kemudian dinamakan tahlilan yang sekarang telah membudaya pada sebagian besar masyarakat.[1]
Tahlilan merupakan budaya agama Hindu, hal ini di buktikan dengan ungkapan syukur pendeta dalam sebuah acara berikut ini:
“Tahun 2006 silam bertempat di Lumajang, Jawa Timur, diselenggarakan kongres Asia para penganut agama Hindu, Salah satu poin penting yang diangkat adalah ungkapan syukur yang cukup mendalam kepada Tuhan mereka, karena bermanfaatnya salah satu ajaran agama mereka yakni peringatan kematian pada hari 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 40, 100, 1000 dan hari matinya tiap tahun yang disebut geblake dalam istilah jawa, untuk kemaslahatan manusia yang terbukti dengan diamalkannya ajaran tersebut oleh sebagian umat Islam”
Bukan hanya itu, jika ditelusuk lebih dalam bacaan dalam tahlilanpun banyak yang mengandung unsur kesyirikan yang sama sekali tidak pernah di ajarkan oleh Nabi saw. Dalam tahlilan kadang terdengar seorang pemimpin/modin membaca shalawat nariyah yang berbunyi sebagai berikut:
اللهم صل صلاة كاملة, وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد الذي تنحل به العقد, تنفرج به الكرب, وتنال به الرغائب, وتقضى به الحوائج, ويستسقى الغمام بوجهه الكريم, عدد كل لمحة ونفس بعدد كل كل معلوم لك.
Artinya: “Ya Allah curahkanlah rahmat yang sempurna dan kesejahteraan yang sempurna kepada sayyidina Muhammad yang dengannya segala ikatan lepas dan segala kesedihan akan lenyap karenanya, dan dengan Nabi Muhammad segala cita-cita tercapai, segala kebutuhan akan diraih dan awan menurunkan hujan dengannya (dengan wajah Nabi Muhammad yang mulia) sejumlah tiap kedip atau senafas dan sebanyak seluruh apa yang Engkau ketahui”
Shalawat tersebut mengandung berbagai kalimat syirik karena menyandarkan harapan bahwa terlepasnya segala kesulitan dan kesedihan adalah berkat Nabi Muhammad saw. Begitu pula menggantungkan cita-cita kepada diri Rasulullah saw. Bahkan beranggapan bahwa hujan pun turun dengan berkat beliau pula.
Di penghujung majelis tahlilan biasanya ditutup dengan dua kasidah syirik sebagai berikut:
هو الحبيب الذي ترجى شفا عته لكل هول من الاهوال مقتحم
Artinya: “Dia Muhammad kekasih yang syafaatnya selalu diharap pada setiap bahaya yang menimpa”
Kesyirikan yang termuat dalam bacaan ini adalah menyatakan bahwa Muhammad merupakan satu figur yang syafaatnya diharapkan untuk melenyapkan segala bahayadan penderitaan di dunia maupun di akhirat bukan di sandarkan kepada Allah swt. Hal ini bertentangan dengan ayat:
مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Artinya : “ Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya, dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Fatir (35): 2).[2]
Sebagaimana yang telah kita ketahui, Rasulullah SAW tidak pernah mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan ritual semacam ini, maka perkara ini telah termasuk perbuatan bid’ah. Orang-orang yang mengada-adakan sesuatu tentang Nabi saw padahal tidak ada dasarnya berarti ia telah menyediakan tempat duduknya di neraka nanti. Hal ini berdasarkan pada hadits:
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَكْذِبُوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجِ النَّارَ (متفق عليه)
Artinya: “Dari Ali r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Nabi Muhammad saw bersabda: jangan kamu berdusta atas (nama)ku, barangsiapa yang berdusta atas nama(ku), tentulah ia masuk ke dalam neraka.” (Muttafaq Alaih)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (متفق عليه)
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata, dari Nabi saw beliau bersabda: Barangsiapa yang mengada-adakan kedustaan atasku, maka berarti telah menyediakan tempat duduknya dalam neraka.” (Muttafaq Alaih).[3]
   Dalam masalah ta’abbudi (ibadah husus atau lazim disebut ritual) tidak boleh mempergunakan ijtihad, tetapi harus mengikuti nash al-Qur’an atau as-Sunnah makbulah. Begitu halnya dengan do’a, do’a termasuk ibadah dalam arti sempit. Do’a bukan budaya seperti yang dipahami sebagian orang.
Dewasa ini, banyak masyarakat menganggap tahlilan itu dapat mengirim atau menghadiahkan pahala dzikirnya kepada orang yang telah mati. Harus dibedakan antara berdo’a dengan menghadiahkan pahala lewat do’a yang jelas tidak ada tuntutannya. Imam Malik dan Imam asy-Syafi’i dan banyak ulama’ lainnya mengambil suatu ketetapan bahwa pembacaan ayat al-Qur’an, dzikir dan sebagainya tidak bisa sampai pahalanya kepada orang yang telah mati.[4]
Islam menganjurkan untuk bertahlil, namun ini tidak dapat disamakan dengan budaya tahlilan, karena dalam budaya tahlilan dewasa ini telah dipengaruhi unsur-unsur kesyirikan dengan menentukan bacaan-bacaan seperti yang telah dijabarkan di atas, dengan membatasi waktu-waktu tertentu untuk melaksanakannya serta dengan niat untuk mengirimkan pahala kepada orang yang meninggal dunia.
Bertahlil secara bahasa adalah mengucapkan la ilaaha illallah, hal ini sangat dianjurkan dalam Islam. Rasulullah bersabda “Mengucapkan subhaanallah, al-hamdulillah, laa ilaaha illallah, dan Allahu akbar itu lebih aku cintai daripada dunia seisinya”. Namun perintah bertahlil dalam Islam tidak bisa dijadikan dasar melakukan ritual tahlilan, karena tahlilan itu berbeda dengan bertahlil. Perintah tahlil dalam Islam tidak pernah dikaitkan dengan waktu-waktu tertentu seperti tepat tiga hari, tujuh hari, sebulan dari hari kematian seseorang. Bahkan Rasulullah menganjurkan umat Islam untuk berdzikir kapanpun itu. dalam tahlilan yang dikenal masyarakat saat ini juga bukan hanya mengucapkan kalimat tahlil saja tetapi juga membaca do’a-do’a lain yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah dan banyak mengandung unsur kesyirikan. Terlebih lagi masyarakat sekarang menganggap tahlilan dapat mengirim pahala kepada mayit, bukan untuk mengingat Allah yang merupakan niat utama dari berdzikir.


[1] Ali Mahrus, Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighasahan Dan Ziarah Para Wali, Laa Tasyuk, hlm 23
[2]  Ibid, hlm 27
[3] Suara Muhammadiyah No. 11 Th. ke-87 Juni 2002, No. 11 Th. ke-88 Juni 2003, dan No. 22 Th. ke-88 November 2003
[4] Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama Jillid 6, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010, hlm. 138.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar