Upacara
tahlilan diadopsi oleh para dai terdahulu dari upacara kepercayaan Animisme,
agama Budha dan Hindu. Menurut kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Budhisme
bila seseorang meninggal dunia maka ruhnya akan datang kembali ke rumah pada
malam hari untuk mengunjungi keluarganya. Jika dalam rumah tadi ada orang ramai
yang berkumpul-kumpul dan mengadakan upacara-upacara sesaji, seperti membakar
kemenyan, dan sesaji terhadap yang ghaib atau ruh-ruh ghaib, maka ruh orang
mati tadi akan marah dan masuk ke dalam jasad orang yang masih hidup dari
keluarga si mati. Maka untuk itu semalaman para tetangga dan kawan-kawan atau
masyarakat tidak tidur, membaca mantera-mantera atau sekedar kumpul-kumpul. Hal
semacam itu dilakukan pada malam pertama kematian, selanjutnya malam ketiga,
ketujuh, ke-100, satu tahun, dua tahun dan malam ke-1000.
Setelah
orang-orang yang mempunyai kepercayaan tersebut masuk Islam, mereka tetap
melakukan upacara-upacara tersebut. Sebagai langkah awal, para dai terdahulu
tidak memberantasnya sekaligus, tapi mengalihkan dari upacara yang bersifat
Hindu dan Budha itu menjadi upacara yang bernafaskan Islam. Sesaji diganti
dengan nasi dan lauk pauk untuk sedekah. Mantera-mantera digantikan dengan
dzikir, doa dan bacaan al-Qur’an. Upacara semacam ini kemudian dinamakan
tahlilan yang sekarang telah membudaya pada sebagian besar masyarakat.[1]
Tahlilan merupakan budaya agama
Hindu, hal ini di buktikan dengan ungkapan syukur pendeta dalam sebuah acara
berikut ini:
“Tahun 2006 silam bertempat di
Lumajang, Jawa Timur, diselenggarakan kongres Asia para penganut agama Hindu,
Salah satu poin penting yang diangkat adalah ungkapan syukur yang cukup
mendalam kepada Tuhan mereka, karena bermanfaatnya salah satu ajaran agama
mereka yakni peringatan kematian pada hari 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 40, 100, 1000
dan hari matinya tiap tahun yang disebut geblake dalam istilah jawa, untuk
kemaslahatan manusia yang terbukti dengan diamalkannya ajaran tersebut oleh
sebagian umat Islam”
Bukan hanya itu, jika ditelusuk
lebih dalam bacaan dalam tahlilanpun banyak yang mengandung unsur kesyirikan
yang sama sekali tidak pernah di ajarkan oleh Nabi saw. Dalam tahlilan kadang
terdengar seorang pemimpin/modin membaca shalawat nariyah yang berbunyi sebagai
berikut:
اللهم صل صلاة كاملة, وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد الذي
تنحل به العقد, تنفرج به الكرب, وتنال به الرغائب, وتقضى به الحوائج, ويستسقى
الغمام بوجهه الكريم, عدد كل لمحة ونفس بعدد كل كل معلوم لك.
Artinya: “Ya Allah curahkanlah
rahmat yang sempurna dan kesejahteraan yang sempurna kepada sayyidina Muhammad
yang dengannya segala ikatan lepas dan segala kesedihan akan lenyap karenanya,
dan dengan Nabi Muhammad segala cita-cita tercapai, segala kebutuhan akan
diraih dan awan menurunkan hujan dengannya (dengan wajah Nabi Muhammad yang
mulia) sejumlah tiap kedip atau senafas dan sebanyak seluruh apa yang Engkau
ketahui”
Shalawat tersebut mengandung berbagai
kalimat syirik karena menyandarkan harapan bahwa terlepasnya segala kesulitan
dan kesedihan adalah berkat Nabi Muhammad saw. Begitu pula menggantungkan
cita-cita kepada diri Rasulullah saw. Bahkan beranggapan bahwa hujan pun turun
dengan berkat beliau pula.
Di penghujung majelis tahlilan biasanya
ditutup dengan dua kasidah syirik sebagai berikut:
هو الحبيب الذي ترجى شفا عته لكل
هول من الاهوال مقتحم
Artinya:
“Dia Muhammad kekasih yang syafaatnya selalu diharap pada setiap bahaya yang
menimpa”
Kesyirikan yang termuat dalam bacaan
ini adalah menyatakan bahwa Muhammad merupakan satu figur yang syafaatnya
diharapkan untuk melenyapkan segala bahayadan penderitaan di dunia maupun di
akhirat bukan di sandarkan kepada Allah swt. Hal ini bertentangan dengan ayat:
مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ
مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ
بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Artinya
: “ Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak
ada seorangpun yang dapat menahannya, dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka
tidak seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Fatir (35): 2).[2]
Sebagaimana yang telah kita ketahui, Rasulullah SAW
tidak pernah mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan ritual semacam ini,
maka perkara ini telah termasuk perbuatan bid’ah. Orang-orang yang
mengada-adakan sesuatu tentang Nabi saw padahal tidak ada dasarnya berarti ia
telah menyediakan tempat duduknya di neraka nanti. Hal ini berdasarkan pada
hadits:
عَنْ
عَلِيٍّ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَكْذِبُوا
عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجِ النَّارَ (متفق عليه)
Artinya:
“Dari Ali r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Nabi Muhammad saw bersabda:
jangan kamu berdusta atas (nama)ku, barangsiapa yang berdusta atas nama(ku),
tentulah ia masuk ke dalam neraka.” (Muttafaq Alaih)
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ
كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (متفق
عليه)
Artinya:
“Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata, dari Nabi saw
beliau bersabda: Barangsiapa yang mengada-adakan kedustaan atasku, maka berarti
telah menyediakan tempat duduknya dalam neraka.” (Muttafaq Alaih).[3]
Dalam masalah
ta’abbudi (ibadah husus atau lazim disebut ritual) tidak boleh mempergunakan
ijtihad, tetapi harus mengikuti nash al-Qur’an atau as-Sunnah makbulah. Begitu
halnya dengan do’a, do’a termasuk ibadah dalam arti sempit. Do’a bukan budaya
seperti yang dipahami sebagian orang.
Dewasa ini, banyak masyarakat menganggap tahlilan itu
dapat mengirim atau menghadiahkan pahala dzikirnya kepada orang yang telah
mati. Harus dibedakan antara berdo’a dengan menghadiahkan pahala lewat do’a
yang jelas tidak ada tuntutannya. Imam Malik dan Imam asy-Syafi’i dan banyak
ulama’ lainnya mengambil suatu ketetapan bahwa pembacaan ayat al-Qur’an, dzikir
dan sebagainya tidak bisa sampai pahalanya kepada orang yang telah mati.[4]
Islam menganjurkan untuk bertahlil, namun ini tidak dapat
disamakan dengan budaya tahlilan, karena dalam budaya tahlilan dewasa ini telah
dipengaruhi unsur-unsur kesyirikan dengan menentukan bacaan-bacaan seperti yang
telah dijabarkan di atas, dengan membatasi waktu-waktu tertentu untuk
melaksanakannya serta dengan niat untuk mengirimkan pahala kepada orang yang
meninggal dunia.
Bertahlil secara bahasa adalah mengucapkan la ilaaha
illallah, hal ini sangat dianjurkan dalam Islam. Rasulullah bersabda “Mengucapkan
subhaanallah, al-hamdulillah, laa ilaaha illallah, dan Allahu akbar itu lebih
aku cintai daripada dunia seisinya”. Namun perintah bertahlil dalam Islam
tidak bisa dijadikan dasar melakukan ritual tahlilan, karena tahlilan itu
berbeda dengan bertahlil. Perintah tahlil dalam Islam tidak pernah dikaitkan
dengan waktu-waktu tertentu seperti tepat tiga hari, tujuh hari, sebulan dari
hari kematian seseorang. Bahkan Rasulullah menganjurkan umat Islam untuk
berdzikir kapanpun itu. dalam tahlilan yang dikenal masyarakat saat ini juga
bukan hanya mengucapkan kalimat tahlil saja tetapi juga membaca do’a-do’a lain
yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah dan banyak mengandung unsur
kesyirikan. Terlebih lagi masyarakat sekarang menganggap tahlilan dapat
mengirim pahala kepada mayit, bukan untuk mengingat Allah yang merupakan niat
utama dari berdzikir.
[1] Ali Mahrus,
Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighasahan Dan Ziarah Para Wali, Laa
Tasyuk, hlm 23
[3] Suara Muhammadiyah
No. 11 Th. ke-87 Juni 2002, No. 11 Th. ke-88 Juni 2003, dan No. 22 Th. ke-88
November 2003
[4] Tim Majelis
Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama Jillid 6,
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010, hlm. 138.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar